Sang Negosiator

Di bawah ini merupakan lanjutan dari posting sebelumnya yang berjudul Pesan di atas meja..


Amrul senyum-senyum sendiri di belakang stir, menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan seolah kelegaan baru saja merasuk kedalam seluruh alveoli di tubuhnya... dalam hati ia berkata “Syukur alhamdulillah... akhirnya aku punya mobil... walaupun hanya mobil perusahaan” kembali senyumnya mengembang dan berbisik perlahan “Allah mudahkan urusanku”

Mobil berwarna merah berlogo telkomsel itu melaju perlahan ketika memasuki alun-alun kota pancur batu.. seolah semua sisi-sisi ban hitamnya ingin merasakan setapak-demi setapak lebih lama untuk mencari sisa jejak sepuluh tahun yang lalu...

Tepat di depan sebuah play group ‘Ummi Fatih’ mobil box melambat dan berhenti, kaca depan di dekat kemudi perlahan turun, terlihat seraut wajah pemuda bernuansa heran dan aura bertanya-tanya.

Amrul menggumam “sungguh kota kecil ini menjadi begitu asing, 10 tahun yang lalu di sini warung sarapan nasi gurih ibunya Zuhra” sambil menatap lama ke arah bangunan hijau daun ‘play group Ummi Fatih’. Rasanya amrul ingin turun sejenak dan bertanya ke pos penjaga bangunan hijau daun ini, tapi sejenak ia mengarahkan pandangan ke arloji merk quatz yang sudah menemaninya sejak sepuluh tahun yang lalu. “akh sudah jam 15:12, aku harus segera, janji dengan pak Sani ba’da Ashar di masjid Nurul Huda” pedal gas diinjak, melaju perlahan ke arah utara kota...

Masjid Nurul Huda, dulunya masjid ini hanyalah sebuah mushola kecil wakaf dari H. Saud ayahnya Zuhra, Amrul terbayang masa 10 tahun yang lalu ketika ia terkadang bela-belain shalat Ashar di mushala Nurul Huda ini, yah.. bela-belain biar bisa bertemu dengan Zuhra yang terbiasa mengajar anak-anak mengaji ba’da shalat ashar...

Kali inipun amrul masih bisa merasakan suasan 10 tahun yang lalu, bocah-bocah pengajian kejar mengajar, dan bercanda di serambi, yang akan belajar mengaji setelah selesai shalat Ashar berjamaah yang selalu diimami H Saud..

Sambil senyum-senyum, berdiri di tempat whudu, di sana anak gadisnya pak Saud pernah bercanda menggodanya, menyentuh lengannya biar whudunya batal... sambil tersenyum manis gadis itu akan bilang “ayo.. batal”. Ketika itu mereka masih SMA, masa remaja yang bisa jadi jauh dari sifat malu-malu.... mereka memang begitu akrab, dan entah apa yang membuat keakraban itu. Kadang mereka bercanda sambil mengejek satu sam yang lain, bahkan Amrul pernah bilang “Ra haji saud tu mantan roker ya.. kok suaranya serak-serak basah”, dan jawabanya hanya cibiran dari lidah Zuhra (:P).

Kali ini Amrul tersentak, menampar pipi sendiri sambil bergumam dalam hati “sadar kawan”. terkadang kenangan lampau terasa begitu dekat di pelupuk mata, ketika alam bawah sadar mendominasi sel-sel neouron.. apalagi kenangan itu indah di masanya.. dan pedih di depannya.. “Astagfirullah aladzhim” desis dari bibir amrul tersentak ketika adzan ashar mulai berkumandang.. barau sadar kalau ia belum berwudhu sama sekali...

Ketika memasuki masjid amrul sempat mengharap jikalau akan bertemu dengan haji saud di tempat imam atau di saf depan, kali inipun ia kecewa tapi tak sekecewa 10 tahun yang lalu di ‘kafe elyas’. Sebab kali ini pak sani pemilik tanah tempat akan dibangunnya tower baru ada di antara jamaah.. sambil mengusap muka dengan tangan, bibirnya melafaskan “Bismillah” luruskan niat, kembali keceriaan smangat negosiator profesional memancar di mata dan parasnya.

Selesai doa melantun merdu dari imam masjid nurul huda, jamaah pun mulai berdiri saling bersalam salaman dan berucap sepatah dua, saling bertutur sapa atau hanya sekedar berkabar, amrul juga melakukan hal yang sama hanya saja setiap tangannya menjabat tangan jamaah lain hanya senyum dan salawat yang terlantun pelan dari bibirnya ditambah seulas senyum bersahabat sang negoisator. Kali terakhir amrul mendekati pak sani yang sedang bercakap dengan imam masjid, mengulurkan tangan dan mencium tangan sang imam berikutnya menjabat tangan pak sani dengan hangat “saya Amrul Habibullah pak, dari telkomsel”

Sebenarnya tanpa membubuhkan kata-kata telkomselpun orang pasti sudah tau kalau pemuda semampai ini adalah pegawai telkomsel, sebab di punggung bajunya tertulis kata telkomsel dengan huruf segede-gede gajah, di tambah lagi bed ID di saku depan baju itu yang jelas-jelas berlogokan telkomsel. “oh iya, ini toh yang akan membicarakan rencana pembangunan tower baru di tanah kebun singkong bapak ya?” pak sani sambil menggoyangkan jabat tangan amrul. “ia pak, saya kebetulan yang ditugaskan untuk pekerjaan dari kantor kali ini, kebetulan saya memang pernah tinggal di sini” jelas amrul sambil menarik jabat tangannya dan mengarahkan tangan itu ketika hendak berkata ‘saya’, “dulu saya pernah sekolah di daerah sini pak, di SMU 1 Pancurbatu” begitulah selanjutnya amrul dan sani saling memperkenalkan diri.

“baiklah nak Amrul, kita lanjutkan bicaranya di kafe elyas yuk, klo hari panas gini pasti lebih tentram klo kita minum air kelapa muda” senyum pak sani dengan ajakan bersahabat... sedikit rona terkejut di wajah amrul, tapi mengigat profesionalisme segera keterkejutan itu diusirnya jauh-jauh, dengan menelan ludah namun serasa menelan adonan tepung roti yang belum di panggang. “Wah ide bagus itu pak, ayuk.. ayuk..”

kafe elyas memang tidaklah jauh dari masjid nurul huda, hanya 50 meter sebelah timur masjid, di kafe inilah amrul pernah mentraktir anak gadis haji saud semangkok bakso kosong atau kadang hanya sekedar jus martabe (marqisa terong belanda/ bukan martabak belanda). Mau tidak mau percikan-percikan kenangan itu terpaksa melintas kembali, amrul kembali teringat kekecewaanya menunggu di kafe ini sepuluh tahun yang lalu... tapi untung pak sani orang yang mudah akrab dan banyak ngoceh, sehingga setiap kenagan itu teringat kembali dia tersadarkan gelegar ocehan pak sani. ....

negoisasi kali ini diselesaikan dengan sukses, deal didapatkan dengan pak sani sesuai dengan harapan kantor pusat. Sejenak amrul tersadar kalau ada sisi kota kecil ini yang masih bertahan, masih sama seperti 10 tahun yang lalu, ya kafe inilah salah satunya, bahkan perabotan-perabotan kafe ini masi banyak yang dikenalinya, perubahan hanya terjadi di tempelan-tempelan hiasan dinding, di dinding kafe sebelah timur sudah ada tv plasma 42 inci, 10 tahun yang lalu di sana hanya ada TV hitam putih... kursi2 dan meja2 masih sama dengan sepuluh ahun yang lalu, sebab meja kafe ini memang dicor langsung ke lantai senhingga sulit untuk merubahnya.

Kali ini dia dan pak sani memilih tempat duduk di sisi barat yang dekat dengan jendela, dari sana amrul sempat melirik meja bundar yang ada di tengah, “hem bahkan meja itu pun masih meja 10 tahun yang lalu” gumamnya dalam hati.......

Pak sani mendahului berdiri, dan melangkah ke kasir untuk membayarkan minuman hari itu, amrul pun berdiri melangkah ke arah meja bagian tengah.. satu langkah sebelum sampai di meja tengah pak sani memanggil amrul “eh nak amrul.. ada uang 1000” terpaksa amrul melangkah juga ke kasir untuk menyerahkan selembar uang Rp 1000..

Begitulah hari itu, dan pesan sang gadis di atas meja masih tetap menunggu untuki di baca...


tokoh-tokoh diatas hanya fiktif, untuk nama tempat mungkin sebagian besar memang ada, tapi nama-nama bangunan dan kafe ane jamin fiktif belaka :D jadi kalo ada yang mau nyari bangunan serta masjid yang ane sebutin di atas kayaknya gak bakalan ada yang ketemu. sekali lagi maaf jika tulisan diatas juga berantakan, ini hanyalah usaha ane untuk belajar menuliskan sebuah fiksi trima kasih sebesar-besarnya buat sobat2 yang sudi membaca tulisan ane yang membosankan ini ^_^'.

Saling Follow